Pertemuan ke 5 Psikologi Umum I: Empirisme, Sensasionalisme, dan Positivisme.
Selasa, 28 September 2021.
Pertemuan ke 5 Psikologi Umum I oleh Bu Mafaza, S.Psi., M.Sc.
Konbanwa! Hai, temen-temen! Sebelum masuk ke materi, aku mau nanya nih, have you been in an experience? Kalian pernah mengalami suatu 'pengalaman' nggak? Hm...nggak bisa dipungkiri juga lah ya, setiap manusia pasti punya pengalaman dalam diri mereka! I'm pretty sure about that!
Ternyata, ada loh teori-teori yang menyangkut pautkan pengalaman yang dimiliki seseorang itu. Penasaran nggak, sih? Memangnya ada teori yang membahas tentang pengalaman serta proses internal yang mendasarinya? Nah, kalau gitu, lets check this out yaaa! :D
1. Empirisme
Ada yang udah pernah denger kata-kata empiris nggak, nih? 100 buat kamu yang udah denger atau bahkan udah ngerti! Bagi yang belum, sini aku spill sedikit "apa sih empirisme itu?". Jadii... empirisme itu merupakan suatu aliran yang meyakini kalau pengetahuan itu bersumber dari pengalaman ya, temen-temen! Pengalamannya ini juga harus punya syarat nih, yaitu memiliki sebuah sensory experinces (pengalaman sensori) sebagai data primernya. Baru deh, kita bisa menyebutnya secara pengetahuan, ah...officially, ya? Jadi, kata kunci dari empirisme ini adalah sensory experiences dan pengalaman ya, guys! Empirisme ini sendiri dicetus oleh filsuf Francis Bacon pada awalnya, kemudian dilanjutkan oleh filsuf John Locke, George Berkeley, Thomas Hobbes, dan David Hume.
☕ Francis Bacon De Verulam : pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang
melaui persatuan inderawi dengan dunia fakta.
☕ Thomas Hobbes: si Hobbes ini lebih mengutamakan mind ya dan dia gak percaya dengan adanya innate (bawaan). Hobbes lebih mengandalkan sensual, dimana persentuhan dengan indra itulah yang menjadi pangkal dari sumber pengetahuan. Hobbes juga menafsirkan jika human as a machine, manusia adalah mesin. Dasarnya adalah dari pergerakkan yang dilakukan manusia-manusia tersebut.
☕ John Locke: nah, ini nih! Locke adalah pencetus dari tabula rasa, dimana menurutnya akal manusia itu diibaratkan seperti kertas putih pada awalnya yang tidak berisi ide bawaan, yang kemudian akan terisi oleh pengalaman seiring dengan berjalannya waktu. John Locke juga membahas tentang perbedaan pandangan diantara beberapa orang. Ada yang pernah penasaran, kenapa sih orang A yang baru saja dari tempat panas menuju tempat bersuhu normal akan merasa dingin, daripada orang B yang baru kembali dari tempat dingin menuju tempat bersuhu normal akan merasa panas? Nah, Locke membahasnya dalam teorinya nih, guys! Menurut Locke juga, perbedaan individu itu sangaatt penting!
☕George Berkeley: Berkeley ini penganut prinsip "sesuatu itu ada karena diamati" atau bahasa kerennya itu "esse
est percipi", guys! Menurut si Berkeley, kalau kalian itu nggak bisa diamati, berarti kalian itu nggak nyata! Jadi, sederhananya, Berkeley ini menyatakan kalau pengetahuan itu adalah segala sesuatu yang bisa diamati. Kalau kalian mau dianggap nyata, maka kalian harus bisa dipersepsikan terlebih dahulu.
☕David Hume: Hume membahas pengetahuan itu berdasarkan a posteriori, yaiu pengetahuan yang melibatkan fakta dan pengalaman. Menurutnya, yang menyebabkan kita memiliki pengertian sesuatu yang tetap, itu disebabkan oleh perulangan pengalaman yang sering terjadi.
☕James Mill: Mill membahas bahwa pikiran yang rumut tersusun dari pikiran yang sederhana.
☕ Alexander Bain: yang menjelaskan mengenai voluntary behavior.
2. Sensasionalisme
Selanjutnya, sensasionalisme! Temen-temen ada yang udah tau nggak, apa sih sensasionalisme itu? Jadi gini, sensasionalisme memiliki kaitan erat dengan materi kita yang sebelumnya nih, guys! Atau bahkan, hampir-hampir mirip kali, ya? HAHAHA...ayo bingung! Sebenernya, sensasionalisme dan empirisme sama-sama menggunakan pengalaman nyata sebagai dasar pengetahuan mereka, nih. Kata kunci dari keduanya adalah sensasi. Udah bisa nangkep nggak maksudnya apa? Oke, jadi empirisme itu lebih terpusat pada mind si manusia itu sendiri. Lalu sensasionalisme? Sensasionalisme justru lebih terpusat pada pengalaman sensorisnya, ya! Sensasionalisme justru berusaha menjelaskan dari pengalaman-pengalaman yang terjadi tersebut. Sensasionalisme ini banyak berkembang pada filsuf Prancis! Kenapa sih, para filsuf itu disebut sebagai sensasionalis? Itu disebabkan karena beberapa dari mereka sengaja menekankan pentingnya sensasi dalam menjleaskan semua pengetahuan dalam keadaan sadar, sehingga mereka memiliki label untuk membedakan antara filsuf Inggris dan filsuf Prancis.
Tokoh-tokohnya yaitu Pierre Gasendi (benda fisik dapat dipengaruhi dan mempengaruh benda fisik pula), Julien de La Mettrie (intelegensi dipengaruhi oleh 3 faktor: ukuran otak, kekompleksan otak, dan pendidikkan) , Claude-Adrien Helvetius (isi dari pikiran datangnya hanya dari pengalaman).
Nah, antara empirisme-sensionalisme ini mengutamakan pendidikkan yah, guys!
3. Positivisme
Nah! Alhamdulillah, kita tiba di materi terakhir, nih. :D Ada yang tau apa itu positivisme? Atau bahkan kata 'positif'? Haha..sebenarnya, positivisme dengan positif sama sekali ngga ada hubungan dari segi pengertiannya ya, guys! Positivisme itu adalah sebuah ilmu penegtahuan yang menjabarkan pernyataan faktual dalam setiap pencerapan (sensasi). Dalam Positivsme itu, terdapat proses pengkuran yang harus lebih teruji nih, temen-temen. Bisa dibilang, pada aliran positivisme ini, jika kita ingin menyimpulkan sebuah ilmu pengetahuan, maka kita harus bisa uji asumsi terlebih dahulu. Pengalamannya dapat diukur apa enggak? Kalau dapat, gas aja kita tarik kesimpulan sebagai ilmu pengetahuan. Hehe, eits, nggak segampang itu juga ya, guys. Sederhananya lagi nih, positivisme ini menekankan segala sesuatu yang dapat terukur dan teramati itu bisa disebut sebagai pengetahuan. Positivisme itu percaya sesuatu yang berlandaskan fakta dan valid datanya (peristiwa tersebut benar-benar terjadi).
Penasaran nggak, kira-kira, Psikologi sudah bisa dikatakan sebagai ilmu nggak sih pada masa positivisme ini? Jawabannya, ENGGAK, yah guys! Kenapa? Karena psikologi sendiri hakikatnya adalah untuk mengukur emosi seseorang. Dimana, pada saat itu, emosi itu termasuk sesuatu yang abstrak nggak, sih? Gimana sih cara kita bisa ngamatin emosi? Gimana cara kita bisa lihat emosi? Terus, emosi seperti bahagia, marah, sedih itu punya variabel tertentu yang bisa memungkinkan kita untuk mengukurnya? Nah, karena keterbatasan ilmu pada masa itu, emosi jadi ngga bisa diukur ataupun diamati ya guys. Jadi, Psikolog belum bisa dikatakan sebagai ilmu pada masa itu.
Ohiya, tokoh dari positivisme ini adalah Auguste Comte. Comte ini punya The Law of Three Stages:
a. The theological
b. The metaphysical
c. The scientific
Kemudian ada Ernest March (kita tidak bisa merasakan dunia fisik secara langsung).
Komentar
Posting Komentar